Oleh : Cahyadi Takariawan
Lihatlah hidup kita saat ini, betapa tergantungnya kita dengan teknologi. Anda pernah bepergian sementara handphone anda tertinggal di rumah? Bagaimana perasaan anda sehari tidak memegang handphone? Kita merasa menjadi orang yang kesendirian di dunia ini dan bahkan merasa “tidak punya apa-apa”.
Anda merasa pernah direpotkan oleh komputer, atau layanan internet yang lambat? Atau anda pernah merasa jengkel sekali karena motor atau mobil anda rusak, padahal anda memerlukan untuk kegiatan di tempat yang jauh dan memerlukan sarana transportasi ? Kadang kita merasa jengkel karena AC ruangan yang tidak dingin, atau karena soundsystem yang bermasalah di tengah kegiatan yang kita laksanakan.
Sebagian aktivitas pelatihan sangat bergantung kepada bagusnya tata lampu dan hebatnya soundsystem atau bagusnya audio visual. Begitu tata lampu dan soundsystem bermasalah, acara menjadi tidak optimal atau bahkan dibatalkan. Begitu kondisi audio visual bermasalah, semua acara menjadi berantakan. Rapat bisa ditunda karena lampu padam, atau karena perlengkapan soundsystem yang tidak berfungsi. Sebagian trainer bergantung kepada laptop dan lcd projector. Sebuah training bisa batal karena laptop dan projector yang tidak tersedia, atau keduanya ada namun tidak kompatibel.
Tentu kita semua pernah mengalami perasaan bergentung kepada teknologi. Saya juga memiliki banyak kisah tentang hal seperti ini.
Nissan Terano. Tentu saja ada kesan mewah, gagah dan bergengsi begitu nama mobil ini disebutkan. Saya merasa sangat bersyukur, seorang teman berkenan meminjamkan mobil tersebut untuk kegiatan saya di Sulawesi Selatan. Alhamdulillah, berarti akan banyak kemudahan saya dapatkan dalam menunaikan aktivitas dakwah. Insyaallah akan semakin optimal pula dalam hasilnya.
Begitu mobil saya dapatkan, tanpa memeriksanya terlebih dahulu, langsung saya gunakan untuk menghadiri undangan kegiatan pelatihan di Mamuju, Sulawesi Barat. Sore hari bakda Asar saya berangkat meninggalkan Makassar menuju Mamuju, ditemani Latang, yang setia membersamai saya selama kegiatan di Sulawesi Selatan. Saya sangat yakin dengan kondisi mobil tersebut, dan merasa tidak perlu ada sesuatu yang dikhawatirkan.
Perjalanan dari Makassar cukup lancar, hingga di Kabupaten Parepare. Saya memegang kemudi dengan cukup nyaman. Selepas shalat maghrib yang dijamak dengan Isya dan makan malam, Latang ganti memegang kendali mobil. Semenjak itu terasa ada beberapa permasalahan yang membuat perjalanan serasa tidak nyaman. Sering sekali mesin mobil mati sendiri, terutama saat melewati jalan berlubang dimana harus memperlambat kecepatan. Saat gas dikurangi atau bahkan dilepas karena menginjak rem, mesin langsung mati. Begitu mesin mobil mati, untuk menghidupkan kembali memerlukan waktu tersendiri.
Kami menduga ada masalah dengan aki mobil, sehingga sulit untuk menghidupkan mesin. Namun karena waktu sudah malam, tidak ada lagi bengkel untuk memeriksakan kondisi mobil. Apalagi banyak melewati hutan dan tempat-tempat yang tidak ada penduduknya. Kami teruskan saja berjalan, walau mesin sering mati dan kami harus sabar untuk menghidupkannya kembali. Alhamdulillah dengan izin Allah kami berhasil sampai di Mamuju jam 04.00 wita pagi hari.
Acara Pelatihan di Mamuju dimulai jam 09.00wita. Sembari saya memberikan materi pelatihan di forum, mobil dibawa masuk bengkel. Kurang lebih jam 12.00wita mobil dinyatakan baik dan siap dipakai setelah mengalami perbaikan. Saya merasa bersyukur dan lega atas informasi tersebut.
Siang itu usai shalat Dhuhur kami meneruskan perjalanan dari Mamuju menuju kabupaten Wajo untuk menghadiri undangan kegiatan. Diperkirakaan paling lambat jam 21.00wita sudah sampai lokasi, bahkan kami targetkan saat Isya sudah berada di lokasi.
Saya memegang kendali mobil dari Mamuju hingga Majene. Rasanya memang tidak ada lagi masalah dengan mobil ini. Namun begitu kami meneruskan perjalanan dari Majene menuju Wajo, mulai muncul banyak persoalan lagi. Latang yang memegang kendali mobil harus berhenti mendadak setelah melihat tanda di dashboard bahwa mesin mobil sudah terlalu panas. Jarum hampir menempel di garis merah yang menandakan ada kondisi overheat.
Sembari berhenti untuk shalat maghrib dan Isya di wilayah kabupaten Pinrang, kami periksa kondisi mesin. Ternyata air radiator habis, dan harus diisi lagi. Namun setelah saya perhatikan, ada kebocoran serius pada radiator, tampak dari tetesan air yang cukup deras. Kami paksakan berjalan lagi sambil terus memperhatikan tanda di dashboard. Benar, baru sepuluh menit berjalan, sudah menunjukkan tanda panas yang hampir mencapai tanda merah. Kami berhenti lagi dan mengisi air radiator. Begitulah beberapa kali kami berjalan dan setiap sepuluh menit harus berhenti untuk mengisi air radiator.
Hingga menjelang masuk kabupaten Sidrap, kami perhatikan kebocoran radiator sudah sangat parah dan rasanya tidak mungkin untuk memaksakan meneruskan perjalanan. Namun hari sudah malam, dan pasti akan sulit mencari bengkel yang masih buka. Saat itu kami berhenti tepat di depan sebuah masjid, karena sekalian untuk memudahkan mengambil air pengisi radiator. Melihat ada mobil mogok di depan masjid, beberapa orang menengok kami dan menanyakan permasalahan mobil.
Akhirnya mereka beramai-ramai mendorong mobil, karena memang tidak berhasil dihidupkan mesinnya, sekaligus menunjukkan bengkel mobil yang bisa diketuk pintunya untuk dimintai tolong. Ternyata bengkel terletak tidak jauh dari lokasi mogoknya mobil, dan benar, bengkel bisa diketuk sehingga teknisinya memeriksa mobil kami.
“Ini sudah malam pak, dan saya perlu istirahat. Mobil baru bisa saya kerjakan besok pagi, jadi harus bermalam disini”, jawab bengkel.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22 lewat, dan akhirnya mobil kami tinggal di bengkel di wilayah Sidrap. Untuk meneruskan perjalanan, saya mengontak Bahran, seorang aktivis dakwah di Pinrang dan Rusli, aktivis dakwah di Sidrap. Mereka berdua tiba dalam waktu yang hampir bersamaan. Akhirnya kami meneruskan perjalanan menuju Wajo, diantar oleh mobil Rusli. Sementara Bahran mengurus mobil yang kami tinggal di bengkel.
Kami masih menyempatkan makan malam burung belibis goreng, khas di Sidrap, karena memang belum sempat makan malam. Tiba di Wajo sudah pukul 24.00wita, kami langsung menuju lokasi acara kegiatan. Ternyata acara pelatihan –yang sedianya saya hadiri sebagai salah satu pemateri– baru saja berakhir. Kami mengobrol dengan para panitia yang masih ada di lokasi, dan kemudian menuju penginapan.
Keesokan paginya saya ada sesi tambahan, menggantikan sesi yang hilang semalam. Setelah semua kegiatan selesai di Wajo, siang itu kami menuju Sidrap untuk mengambil mobil, diantar oleh Ambo Upe, seorang aktivis dakwah di Wajo. Tiba di Sidrap sudah masuk waktu Isya, dan setelah makan bebek goreng khas Sidrap, kami meneruskan perjalanan ke Makassar dengan mobil yang telah selesai diperbaiki di bengkel. Kembali perasaan aman saya rasakan, karena mobil dinyatakan dalam keadaan baik dan siap dipakai. Mobil dikemudikan Latang.
Awalnya perjalanan dari Sidrap lancar saja, namun sesampai di pom bensin Bojo, kabupaten Parepare, mobil kembali mendapatkan masalah. Lampu mobil mati, baik lampu jauh maupun lampu dekat. Tentu saja mobil tidak bisa meneruskan perjalanan tanpa lampu. Kami berhenti untuk mencoba memperbaiki lampu, namun tidak berhasil. Kami juga berusaha mencari bengkel terdekat namun tidak ditemukan. Akhirnya saya mengontak Saiful, seorang aktivis dakwah di Parepare untuk mendatangkan teknisi mobil agar memperbaiki lampu.
Tak lama kemudian datanglah bantuan dari Parepare. Ternyata yang datang Iqbal datang bersama seorang teknisi yang memperbaiki kerusakan lampu. Alhamdulillah, lampu berhasil diperbaiki. Kami meneruskan perjalanan menuju Makassar, dan tiba di Makassar sudah jam 02.30wita.
Masyaallah, perjalanan yang sangat mengasyikkan. Penuh dengan cobaan, rintangan dan permasalahan. Inilah jalan dakwah. Inilah jalan perjuangan. Selalu ada kendala, selalu ada hambatan, selalu ada kesulitan. Semakin besar kesulitannya, semakin besar pula pahalanya, insyaallah.
Namun di balik itu semua, saya mendapatkan banyak pelajaran dan tarbiyah yang amat berharga. Pertama, adalah tentang apresiasi kita terhadap fasilitas, atau terhadap teknologi. Seluruh fasilitas dalam kehidupan tentu sangat membantu kita dalam melaksanakan kegiatan, sejak dari kegiatan pribadi, sosial, bisnis, politik, juga dakwah. Namun apabila apresiasi kita berlebihan hingga ke tingkat ketergantungan, banyak sekali hal yang justru tidak didapatkan. Artinya, kita harus proporsional dalam mengapresiasi fasilitas dan teknologi, dan selalu berpikir jalan keluar jika kondisinya tidak seperti yang kita harapkan.
Kedua, kita tidak boleh menjadi manja akibat fasilitas. Kadang karena tergantung dengan fasilitas, membuat kita menjadi manja. Tidak berangkat kegiatan karena motornya rusak. Tidak berangkat aktivitas karena mobilnya mogok. Tidak jadi menggelar rapat karena lampu ruangan tidak menyala. Pelatihan dibatalkan karena audio visual tidak sempurna, dan lain sebagainya. Kita harus selalu mencari alternatif, dan selalu menyediakan jalan keluar, jika fasilitas yang kita miliki tidak sesuai keinginan.
Ketiga, kegiatan dakwah selalu ada hambatan dan rintangan. Betapapun semua sudah direncanakan dengan matang, sudah dirancang dengan serius, sudah dibahas dengan detail, namun dalam pelaksanaannya pasti akan selalu dijumpai hambatan dan rintangan. Selalu ada kendala, selalu ada gangguan, selalu ada ujian. Perjalanan dari Makassar menuju Mamuju, saya bayangkan akan sedemikian lancar karena menggunakan Nissan Terano. Namun ternyata justru banyak kendala. Perjalanan dari Mamuju menuju Wajo saya bayangkan akan lancar, ternyata justru harus mendorong mobil ke bengkel di tengah malam.
Keempat, harus selalu menyiapkan jiwa untuk menghadapi hal yang tidak diduga. Hidup kita seringkali penuh kejutan. Dalam kegiatan dakwah juga dijumpai banyak hal yang tidak seperti rencana. Banyak kejadian yang tak dibayangkan. Banyak peristiwa yang tiba-tiba. Jiwa kita harus disiapkan untuk menghadapi segala jenis peristiwa, baik yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan; yang menguntungkan ataupun merugikan. Jika jiwa kita tidak siap menghadapi kejadian yang tidak diduga, akan menimbulkan respon yang berlebihan dan tidak semestinya.
Kelima, pentingnya persahabatan dan persaudaraan. Saya merasa sangat bahagia karena memiliki banyak sahabat dan saudara. Dimanapun kita berada, selalu bertemu sahabat dan saudara yang siap membantu saat kita menemukan kesulitan. Saat malam hari mobil mogok di wilayah Sidrap, saya tidak bingung harus berbuat apa. Saya segera mengontak sahabat yang berada di dekat lokasi. Alhamdulillah bertemu dengan Bahran dan Rusli, yang akhirnya membantu mengantarkan saya menuju lokasi acara di Wajo. Demikian pula saat mobil mati lampu di Parepare, saya segera mengontak sahabat yang berada di sekitar lokasi. Alhamdulillah bertemu Iqbal.
Nissan Terano itu memberikan banyak pelajaran berharga kepada saya. Latang yang membersamai perjalanan saya banyak memberikan pelajaran berharga pula. Semua kejadian dalam hidup kita tidak pernah ada yang sia-sia, selama kita mampu mengambil hikmahnya.
0 komentar:
Posting Komentar